Jambi, http://sudutlimapuluhkota.com – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyatakan bullying sebagai perilaku bersifat agresif yang dilakukan secara berulang-ulang oleh seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa/siswi yang dianggap lebih lemah darinya dengan tujuan menunjukkan ‘power’ atau balas dendam yang berujung pada menyakiti orang tersebut. Maka perlu adanya pendidikan karakter untuk mencegah kasus bullying yang ada.
Kasus bullying di Indonesia menurut databoks.id menunjukkan tertinggi jumlah kasus bullying ada pada tingkat pendidikan SD sebesar 25% dan SMP sebesar 25%, contoh kasus yang baru menjadi perbincangan akhir-akhir ini yakni kasus bully salah satu universitas di Provinsi Jambi, seharusnya ketika sudah mahasiswa sudah tidak diharapkan lagi kasus bullying, ternyata masih terjadi, karena mahasiswa sudah bisa berfikir dewasa dalam berucap maupun bertindak.
Khairiq Anhar selaku Aktivis Mahasiswa UNRI menanggapi kasus bully yang ada di salah satu universitas di Provinsi Jambi, Ia mengatakan budaya patriarki di Indonesia masih sangat kuat, sehingga perlu adanya pengajaran untuk ada rasa saling menghargai dan secara umum persoalan bullying ini masih dianggap remeh, dan perlunya peran guru BK untuk bekerja secara fokus dan tulus.
Budaya patriarki yang dibahas Khariq perlu digarisbawahi juga. Patriarki bisa dikatakan peran laki-laki lebih kuat dibandingkan perempuan, sehingga ia yang berkuasa didalam rumah, namun harusnya ada keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan, secara laki-laki juga harus membantu pekerjaan rumah sedangkan perempuan juga tidak dilarang untuk bekerja.
Survey yang dilakukan penulis di Whatssapp Group bahwa “Setujukah Pelaku Bully Kalangan Pelajar di Bawah Umur di Penjarakan?” didapatkan hasil 71 Responden menyatakan setuju, sedangkan 14 lainnya tidak setuju, alasan ketidaksetujuan karena masih banyak cara agar memberikan efek jera, misalkan diberi peringatan terlebih dahulu, atau misalnya skorsing selama beberapa hari dari sekolah, namun pihak yang setuju mengatakan pelaku bully dipenjara beberapa hari saja, agar memberikan efek jera kepada pembully tersebut.
Mahasiswi Universitas Riau Bernama Cici Karmila turut menanggapi kasus bully yang sering terjadi di Indonesia, sebagai perwakilan perempuan ia menanggapi bahwa orang tua memegang peranan penting dalam mencegah dan menangani kasus bullying pada anak. Orang tua perlu menjalin komunikasi yang baik dengan anak, sehingga anak berani membuka diri jika mengalami bullying.
Ia menambahkan orang tua juga perlu mengajarkan empati dan mencontohkan sikap anti-bullying sejak dini kepada sang anak. Kerja sama antara pihak sekolah/kampus dan orang tua mutlak diperlukan untuk memberantas bully di kalangan pelajar dan mahasiswa.
Hakikatnya pendidikan diciptakan untuk membangun manusia menjadi cerdas, tidak hanya secara intelektual saja, tetapi dari segi moral dan kerohanian juga harus ditingkatkan.
Karakter merupakan solusi yang bisa ditawarkan sebagai ‘akar’ untuk menciptakan kehidupan, apabila karakternya baik, maka kehidupannya juga baik, begitu sebaliknya, jika karakternya buruk, maka terciptalah kehidupan yang buruk pula.
Pendidikan karakter yang dikutip dari jurnal Yuyarti yang berjudul ‘’Mengatasi Bullying melalui Pendidikan Karakter’’ bahwasanya suatu penanaman nilai nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi kemampuan, kesadaran, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai seperti yang diterapkan dalam Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, dan lingkungan.
Penerapan pendidikan karakter sebaiknya dilakukan di sekolah dan rumah, contoh yang bisa dilakukan yaitu mengembangkan budaya minta maaf dan memberi maaf, dikarenakan setiap manusia pasti memiliki kesalahan, tidak ada manusia yang sempurna, maka perlu adanya pemaafan.
Meningkatkan dialog antara siswa dan sekolah juga penting, apabila siswa memiliki masalah, cenderung diselesaikan dengan cara main hakim sendiri, hal ini tentu membudaya ditengah masyarakat kita.
Maka pentingnya peran guru dan pimpinan sekolah sebagai orang dewasa untuk selalu menanyakan permasalahan siswanya, agar tidak terjadi bullying dan bisa diselesaikan secara musyawarah sesuai amanat Pancasila.
Penerapan sanksi kepada pelaku bully di sekolah juga harus menjadi perhatian, sanksi akan tercipta apabila ada suatu tindakan yang melawan hukum, sanksi yang bisa diberikan kepada pelaku bully terkhusus pelajar yakninya skorsing, dan juga pemanggilan orang tua, dan sanksi paling berat dikeluarkan dari sekolah.
Mahasiswi Bimbingan Konseling Erika Putri menanggapi terkait hal ini, selaku yang mengetahui dan mempelajari konseling, Ia mengatakan bullying bisa merusak mental korban bully, kalau semisalnya bully ini terjadi pada anak-anak, maka tentu akan berdampak pada masa depannya, dan tentunya akan mengakibatkan anak tersebut mengalami trauma dan menjadi introvert.
Pada akhirnya, penguatan pendidikan karakter di sekolah perlu ditekankan, budaya 5S (Senyum, Sapa,Salam, Sopan dan Santun) juga harus diterapkan, serta penyelesaian masalah melalui jalan musyawarah juga harus dibudayakan mulai dari diri sendiri, serta peran orang tua yang merupakan madrasah pertama seorang anak perlu juga ditingkatkan, seperti orang tua memberikan contoh tidak menggunakan kekerasan dalam rumah, dan juga tontonan anak yang mengandung kekerasan juga hendaknya dicegah, dan pihak sekolah juga harus mengawasi perilaku siswa di kelas agar tidak ada peristiwa bullying. (*)
Identitas Penulis:
Nama : Muhammad Rafi
Kegiatan : Pembelajar Adat