Limapuluh Kota, http://sudutlimapuluhkota.com – Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker) Kabupaten Lima Puluh Kota, Ayu Mitra Fadri, mengapresiasi kreativitas Kelompok Batik Nagari Talang Maua yang berhasil mengolah limbah gambir menjadi pewarna alami batik bernilai ekonomis. Hal itu disampaikan Ayu saat meninjau langsung proses produksi Batik Kalincuang di Nagari Talang Maua, Kecamatan Mungka, pada Senin (05/05/2025).
Turut mendampingi dalam kunjungan tersebut Kabid Pembinaan dan Pengawasan Industri Devi, Kabid Sarana dan Prasarana Industri Debby Seprima, anggota DPRD Lima Puluh Kota Prima Maifirson, serta Pj. Wali Nagari Talang Maua Riki FS beserta jajaran.
Dalam sambutannya, Ayu menyebut inovasi Batik Kalincuang ini merupakan terobosan penting dalam memanfaatkan limbah gambir yang sebelumnya tidak bernilai guna menjadi produk berdaya jual. “Setelah sebelumnya kita mengenal Batik Gambir, kini muncul Batik Kalincuang yang menggunakan limbah gambir sebagai pewarna. Ini potensi luar biasa yang perlu terus dikembangkan,” ujarnya.
Ayu menyatakan dukungan penuh untuk pengembangan dan pemasaran batik ini, termasuk melalui perlindungan hak cipta dan keikutsertaan dalam berbagai pameran tingkat lokal, nasional, hingga internasional. “Kami akan melibatkan dua bidang industri di Disperinaker agar batik ini memiliki hak cipta atas bentuk, motif, dan nama, serta ikut dipromosikan di berbagai ajang pameran,” jelasnya.
Anggota DPRD Lima Puluh Kota, Prima Maifirson, juga mengapresiasi semangat masyarakat Talang Maua dalam mengembangkan potensi lokal. Ia berharap Pemerintah Daerah (Pemda) dapat mendukung agar Batik Kalincuang semakin dikenal. “Kami mendorong agar batik ini bisa dipakai sebagai seragam pegawai pemerintah daerah di hari tertentu, dan menjadi cendera mata khas daerah,” katanya.
Sementara itu, Ketua Kelompok Batik Kalincuang, Rosnani, mengungkapkan usaha ini bermula dari pelatihan Program Ormawa Membangun Nagari yang digelar Dosen Politeknik Pertanian Payakumbuh, Synthia Afner, pada November 2024. Saat ini, kelompoknya yang beranggotakan delapan orang telah mampu memproduksi batik dengan pewarna alami dari ampas getah gambir.
Meski demikian, Rosnani menyebut masih ada beberapa kendala seperti keterbatasan ruang produksi, kesulitan akses air bersih, serta minimnya tenaga terampil. “Kami masih menumpang ruang, dan untuk membilas kain harus ke sungai. Tenaga kerja juga masih belajar otodidak,” ujarnya.
Saat ini, Batik Kalincuang mulai diminati pasar. Rosnani menyebut pihaknya sudah menerima pesanan dari perangkat nagari, serta pembeli dari Payakumbuh, Kalimantan, hingga Jakarta. Harga per lembar kain ukuran 2×1,15 meter berkisar Rp350 ribu hingga Rp500 ribu, tergantung motif.
Ia berharap semakin banyak anak muda yang tertarik mengembangkan Batik Kalincuang, serta adanya dukungan dari pemerintah dan investor agar produk ini bisa menembus pasar internasional. (ABD/Kominfo)