Batam, http://sudutlimapuluhkota.com – Konflik agraria sering terjadi di Indonesia, dan yang akhir-akhir ini menjadi pusat perhatian publik adalah kasus di Rempang, Provinsi Kepulauan Riau dan Air Bangis, Provinsi Sumatera Barat.
Masyarakat Indonesia sering dihadapkan dengan berbagai persoalan terkait ketidakadilan dalam mendapatkan hak atas penguasaan agraria dan pemanfaatannya. Tanah biasanya digunakan masyarakat adat untuk bertani, bentuk kesakralan, dan warisan leluhur yang dapat dijadikan kebudayaan.
Berbicara konflik Rempang, maka sejarah masyarakat Adat Melayu Tempatan membagi dua masyarakat itu, yakni Orang Darat dan Orang Laut. Orang Laut mendiami wilayah pesisir dan kebiasaannya melaut sebagai mata pencaharian. Sementara itu, Orang Darat mendiami wilayah daratan Pulau Rempang.
Dikutip dari Kitab Tuhfat An-Nafis karya Raja Ali Haji terbit pada tahun 1890 M, penduduk Pulau Rempang, Galang, dan Bulang adalah keturunan dari Prajurit atau Laskar Kesultanan Riau Lingga yang sudah mendiami pulau-pulau tersebut sejak tahun 1720 M di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I. Maka merekalah warga lokal yang menetap di sana sejak ratusan tahun yang lalu, jauh sebelum republik ini berdiri.
Eksistensi masyarakat adat perlu untuk diperhatikan, dijelaskan dalam UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2) yang berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Artinya eksistensi yang diakui merupakan kesatuan masyarakat adat serta masyarakat adat itu hidup di lingkungannya.
Tanah ulayat merupakan bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat. Hak ulayat yaitu hak penguasaan tertinggi dalam masyarakat hukum adat tertentu atas tanah yang merupakan kepunyaan bersama.
Tanah ulayat milik masyarakat adat kebanyakan tidak memiliki sertifikat tanah. Hal ini dikarenakan tanah ulayat bukan merupakan objek pendaftaran tanah, tetapi tanah ulayat telah dijamin oleh UU Pokok Agraria (UUPA).
UUPA Pasal 3 berbunyi; dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Dikutip dari jurnal Pusat Kajian Hukum Agraria dan Adat Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand) berjudul Menjaga Muruah Tanah Ulayat diketahui bahwa masyarakat Minangkabau sangat menjunjung tanah ulayat. Pengelolaan tanah ulayat Minangkabau haruslah sesuai dengan kaidah atau norma yang hidup di tengah masyarakat hukum adat.
Falsafah Minangkabau berbunyi “Nan basah tanamlah padi, nan bancah bataranak itiak, nan lereng tanamlah tabu, nan data pandam pakuburan jo perumahan, jago hutan jan binaso” (yang basah tanamlah padi, yang berlumpur tempat beternak itik, yang lereng tanamlah tebu, yang datar tempat komplek pekuburan dan perumahan, jaga hutan jangan binasa, red). Begitulah falsafah Minangkabau yang mengajarkan kita soal pengelolaan tata ruang alam. Perintah menanam padi terletak pada kalimat utama seolah-olah mengisyaratkan kita bahwa melindungi lahan pertanian menjadi tugas utama sebagai masyarakat hukum adat Minangkabau.
Tanah ulayat jika ingin diberikan kepada pihak lain maka harus ada kesepakatan warga, dikarenakan tanah ulayat milik bersama bukan milik pribadi, dan juga sertifikat tanah ulayat juga mengatasnamakan kaum/suku/warga, tanah ulayat juga rasanya penting untuk diberikan sertifikat tanah agar diakui secara hukum.
Pentingnya menjaga tanah ulayat dikarenakan tanah ulayat memiliki kesakralan yang tinggi. Sebagai mata pencaharian, dan simbol dari suatu kaum ataupun suku, tanah ulayat atau tanah milik adat dipandang sebagai kekayaan yang bersifat kekal karena tidak akan musnah dalam keadaan bagaimanapun juga. Mari sama-sama kita menjaga tanah ulayat agar adat budaya tetap lestari.
Sementara investasi bagi pemerintah berfungsi sebagai peningkatan devisa negara dan untuk meningkatkan perekonomian. Di situlah konflik sengketa tanah akibat investasi dan tanah ulayat adat sering terjadi. Biasanya hal ini disebabkan karena kurangnya sosialisasi dari Kementerian ATR BPN untuk memberikan edukasi pentingnya menjaga tanah ulayat adat. (*)
Identitas Penulis:

Oleh : Muhammad Rafi
Nama : Muhammad Rafi
Kegiatan : Pembelajar Adat