Padang, http://sudutlimapuluhkota.com – Puluhan masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat menggelar deklarasi melawan politik dinasti dan politik uang menjelang perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Tahun 2024 di Tahir Foundation Building, Fakultas Hukum, Universitas Andalas (Unand), pada Jumat (28/06/2024).
Hadir sebagai pembicara dalam acara deklarasi tersebut, Prof. Edward Aspinall dari Aspinall Australian National University, Dr. Charles Simabura selaku Direktur Pusako Unand, M. Taufik, M.Si Ketua PMB UIN Imam Bonjol Padang, dan Dr. Muhammad Yusra Direktur POSHDem Unand.
Prof. Edward Aspinall menyampaikan, meskipun tidak dilakukan penelitian secara berkelanjutan, tampak bahwa politik uang di Indonesia semakin berkembang, semakin mengkristal, baik dari jumlah calon yang melakukan maupun jumlah uang yang diberikan kepada masyarakat. Kemudian masyarakat yang menganggap politik uang itu wajar juga semakin mayoritas.
“Sehingga kalau kita bandingan dengan pemilu sebelumnya, dan belum ada upaya yang serius untuk mengatasi persoalan politik uang itu semakin merajalela,” kata Prof. Edward.
Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Unand Feri Amsari selaku panitia dalam sambutannya menyampaikan politik gentong babi pada pemilihan presiden juga berpotensial terjadi pada Pilkada serentak tahun 2024 ini.
Kondisi ini memang belum terlihat saat ini, namun potensi ini terjadi pasca anggota dewan terpilih dilantik pada 27 Agustus 2024 nanti. Dana pokir dewan akan segera dikucurkan dan jadi syarat untuk pemilihan kepala daerah.
Terkait politik dinasti, tampak dengan putusan MK terkait terkait usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden yang mana anak Presiden Jokowi, Gibran bisa maju sebagai calon wakil presiden.
Kemudian tampak juga pada Putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengubah batas usia calon kepala daerah 6 bulan menjelang Pilkada serentak 2024. Keputusan MA ini dianggap memberi jalan bagi praktik politik dinasti dan lekat dengan nepotisme.
“Beberapa daerah di Sumatera Barat juga kental sekali dengan nepotisme politik dinasti, padahal katanya Sumatera Barat itu tempat yang berbeda,” ujar Feri Amsari.
“Untuk itu, kita harus menjadi bagian yang menyatukan publik Sumatera Barat untuk melakukan sesuatu, membuat sesuatu melawan rezim, yang menurut saya sudah terang-terangan mengabaikan nilai-nilai konstitusional,” katanya.
Ia menjelaskan penamaan Sumatera Barat melawan itu bertujuan untuk menyebarkan virus perlawanan terhadap rezim yang menghalalkan nepotisme dan politik uang ini ke berbagai daerah lain.
Pada kesempatan itu Samaratul Fuad, sebagai Koordinator Deklarasi menyatakan perlawanan terhadap segala corak penyimpangan, penyalahgunaan kekuasaan, serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) nan merusak sistem norma dan kerakyatan merupakan tradisi intelektual Sumatera Barat.
Perlawanan ini mengingatkan bahwa Republik ini didirikan dengan darah dan keringat, sehingga setiap rezim nan berkuasa kudu mempertahankan, bukan merusaknya.
“Praktik perusakan norma dan kerakyatan setidaknya terlihat pada rezim nan berkuasa hari ini,” ucapnya.
Dia melanjutkan, presiden sebagai kepala pemerintahan malah mengutamakan kepentingan family dan golongan di atas kepentingan negara. Hanya di rezim ini anak presiden dapat mulus menjadi wakil presiden.
Selain itu, kata dia, anak presiden nan baru tiga hari menjadi kader partai bisa menjabat sebagai ketua umum, menantu presiden menjadi calon gubernur, serta besan dan ipar presiden menduduki jabatan-jabatan strategis di pemerintahan dan Badan Usaha Milik Negara.
“Semua praktik culas dan manipulatif Presiden dan kroninya dirangkai menggunakan tangan lembaga kerakyatan dan peradilan. Seolah-olah demokratis, padahal manipulatif dalam semua tindakannya. Tidak salah kiranya jika disebut telah terjadi manipulasi nawacita menjadi nawa dosa,” ujarnya dalam deklarasi tersebut.
Ia mengatakan, tidak hanya lembaga kerakyatan nan diacak-acak, lembaga penegak hukum, perangkat pertahanan negara, dan lembaga kekuasaan kehakiman pun menjadi sasaran.
Selain itu, kata Samaratul Fuad, Komisi Pemberantasan Korupsi diamputasi, Kepolisian dikooptasi, TNI dipolitisasi, Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung melegitimasi politik dinasti.
“Penyelenggara pemilu pun seperti telah tersandera kepentingan politik, dan terkesan sangat tidak profesional. Akibatnya tak hanya daya kerakyatan masyarakat bakal terkuras dan mubazir. Tetapi, negara mesti menanggung beban biaya tambahan nyaris Rp 300 miliar,” ucapnya.
Samaratul mengatakan, koalisi menolak setiap praktik culas dalam demokrasi. Pihaknya bakal melawan setiap pihak nan menunggangi pelembagaan kerakyatan untuk kepentingan dinasti politik.
“Kami menolak pembodohan kerakyatan dengan melawan praktik koruptif politik uang, khususnya untuk penyelenggaraan pilkada di Sumatera Barat pada tahun 2024 ini,” ucapnya.
Menurutnya, lancangnya rezim mengutak-atik kerakyatan dan norma tentu bakal menjadi preseden dalam penyelenggaraan pemilihan kepala wilayah nan bakal berjalan tidak lama lagi.
“Jangan sampai politik kotor nan seolah-olah bersih lantaran dicuci oleh perangkat legitimasi itu terjadi di daerah, termasuk di Sumatera Barat. Kami datang untuk memastikan perhelatan kerakyatan Pilkada 2024 tidak hanya menjadi panggung elit politik untuk memburu kekuasaan. Kami bakal datang untuk memastikan pemilihan kepala wilayah 2024 dilaksanakan dengan akal, kecerdasan, integritas, dan kejujuran,” kata Samaratul.
Ia pun membujuk seluruh masyarakat sipil di Indonesia, mahasiswa, buruh, tani, perempuan, masyarakat adat, media, dan semua insan sipil nan menginginkan kerakyatan dan negara norma menjadi dasar dalam menjalankan negara, untuk tidak diam. “Saatnya kita bergerak bersama,” kata Samaratul. (ABD)