Limapuluh Kota, http://sudutlimapuluhkota.com – Menikah merupakan suatu kebutuhan dasar manusia yang tujuannya untuk melanjutkan generasi dan memproleh keturunan. Islam memandang menikah merupakan sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggung jawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus diindahkan.
Orang Minangkabau dikenal dengan karakternya yang religius, penganut agama islam yang tinggi (Sayuti, 2021). Maka terdapat istilah yang mengatakan bahwa bukan orang Minangkabau jika dia tidak beragama islam, maka islam dan adat Minangkabau adalah dua sistem sosial masyarakat yang tidak dapat dipisahkan. Adat di Minangkabau berlandaskan pada aturan islam, dalam hal ini juga telah mengatur sistem perkawinan, yaitu kewajiban orang yang sudah baliq berakal untuk menikah. Berbicara tentang budaya yang ada pada Minangkabau, maka hal itu dapat dilihat dari adat sistem perkawinan di Minangkabau yang sarat akan sebuah makna berkat adanya tradisi yang mesti dipatuhi oleh setiap suku bangsa Minangkabau.
Dalam pelaksanaan perkawinan di Minangkabau terdapat aturan adat dan agama yang perlu dijadikan pedoman dan tuntunan oleh orang Minangkabau saat melangsungkan pernikahan, dan dianya dimulai dari pra-nikah, nikah dan pasca-nikah. Dalam agama islam, pelaksanaan perkawinan mempelai pria saat akad nikah maka wajib memberikan mahar kepada mempelai wanita. Di Minangkabau, Lima puluh kota mempelai pria juga diwajibkan untuk menyediakan mahar untuk perkawinan. Tetapi, hal yang menarik di Lima Puluh Kota, mempelai pria tidak hanya menyediakan mahar yang diwajibkan oleh agama islam, tetapi mempelai pria diwajibkan juga untuk mengikuti tradisi adat di daerah Lima Puluh Kota sebelum melangsungkan perkawinan, yaitu tradisi maisi sasuduik.
Maisi sasuduik adalah suatu kewajiban yang mesti diberikan mempelai pria kepada wanita yang akan dinikahinya, dan dianya dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung, hal tersebut tergantung kesepakatan mempelai pria dengan keluarga wanita, atau keluarga pria dengan keluarga wanita yang dalam hal ini diwakili oleh Niniak Mamak masing-masing keluarga. Waktu penentuan prabot dan anggaran biaya maisi sasuduik akan dibahas saat berkumpulnya mempelai pria dan mempelai wanita, keluarga dari kedua bela pihak dan Niniak Mamak pada waktu meminang.
Penelitian yang telah dilakukan oleh penulis di daerah piladang, lima puluh kota secara sederhana menemukan bahwa makna maisi sasuduik itu sendiri bagi orang lima puluh kota adalah; pertama, Penyempurna Meminang. Maknanya bahwa mempelai pria yang akan menikahi wanita yang ia sukai maka mesti memberikan sasuduik sebagai penyempurna meminang, karena dianggap tidak lengkap sebuah peminangan jika tidak dilakukannya tradisi maisi sasuduik yang jadi kewajiban mempelai dari mempelai pria. Kedua, Harga diri. Maknanya, maisi sasuduik merupakan sebuah harga diri seorang pria, seorang pria yang tidak memberikan sasuduik maka harga dirinya akan direndahkan oleh keluarga dari wanita atau orang orang disekitarnya wanita sebab tidak menjalankan tradisi untuk maisi sasuduik tersebut.
Ketiga, Wujud keseriusan. Maknanya bahwa maisi sasuduik adalah bentuk dari wujud keseriusan pria. Bila pria yang akan menikah tidak memberikan uang sasuduik atau maisi sasuduik maka pria tersebut akan dianggap tidak punya keseriusan dalam menikahi wanita tersebut. Keempat, Tanggung jawab. Menikah adalah tanggung jawab, maka maknanya maisi sasuduik adalah bentuk dari tanggung jawab pria jika tidak menjalankan tradisi maisi sasuduik maka pria tersebut dianggap tidak bertanggung jawab kepada wanita yang akan dinikahinya.
Maisi sasuduik memiliki makna yang mendalam pada pernikahan bagi mempelai pria dan wanita. Tidak ada hukum adat atau sanksi adat khusus bagi mempelai pria atau mempelai wanita yang tidak menjalankan tradisi maisi sasuduik tersebut. bila mempelai pria tidak melaksanakan tradisi maisi sasuduik tidak sampai membatalkan pernikahan yang akan dilaksanakan. Bila mempelai pria sanggup menjalankan tradisi maisi sasuduik maka dilaksanakan. Jika tidak sanggup, maka tradisi tersebut tidak dilaksakana, tetapi pernikahan tetap dianggap sah dan tidak membatalkan pernikahan sama sekali karena maisi sasuduik adalah perlengkap dalam pernikahan bukan kewajiban hingga membatalkan penikahan karena maisi sasuduik tidak termasuk kedalam sistem perkawinan wajib islam dan hukum adat khusus.
Bagaimanapun makna yang dimaksud oleh masyarakat di Lima Puluh Kota dalam melakoni dan menjalankan tradisi maisi sasuduik, nyatanya dia adalah bentuk dari suatu kebudayaan yang tercipta dan terbentuk dari alam Minangkabau dan dianya mesti dilestarikan dan diwariskan kepada anak cucu. Setiap budaya yang dimiliki dan diciptakan sejatinya memiliki makna dan tujuan suatu pesan kebaikan tersendiri di dalamnya, maka tinggal dilestarikan dan dijalankan selalu supaya kebudayaan Minangkabau yang terdapat di lokasi Lima Puluh Kota ini tidak hilang dari anak, cucu dan kemenakan orang-orang Lima Puluh Kota (jangan sampai tinggal cerita saja). Oleh karenanya, peran datuak, niniak mamak, alim ulama cadiak pandai harus menjadi agen yang mempertahankan tradisi ini agar tetap terlestarikan dan terlaksana oleh anak, cucuk dan kamanakan dengan tetap diwariskan secara turun-temurun lewat pelaksanaan masyarakat di Lima Puluh Kota. (*)
Identitas Penulis :
Nama : Maichel Firmansyah
Alamat : Jorong Piladang, Nagari Koto Tangah Batu Hampa, Kecamatan Akabiluru, Kabupaten Lima Puluh Kota
Jurusan : Pendidikan Sosiologi Antrpologi
Fakultas : Ilmu Sosial
Kampus : Universitas Negeri Padang