Padang, http://sudutlimapuluhkota.com – Jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, para Calon Legislatif (Caleg) berbincang-bincang dengan Pelita Padang, komunitas-komunitas, serta masyarakat umum mengenai persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Sumatera Barat. Diskusi dengan tajuk “Forum Demokrasi” itu berlangsung di HD Resto, Pasa Gadang, Kota Padang, pada Sabtu (09/02/2024).
Diskusi dimulai oleh moderator dari Pelita Padang, Anjali Sabna mengenai isu KBB yang sempat muncul di Sumatera Barat. Permasalahan yang sempat mencuat antara lain kesulitan membangun rumah ibadah, aturan wajib memakai atribut agama tertentu, serta indeks kota toleran oleh Setara Institute yang menempatkan Kota Padang di peringkat ke-3 paling rendah dari 94 kota yang terdata.
Menurut salah seorang caleg Riki Hendra Mulya atau akrab disapa Riki Warik, keberagaman budaya di Kota Padang yang sudah tercatat dalam sejarah semestinya mampu menciptakan lingkungan yang inklusif dan menjamin KBB.
“Perlu berhati-hati dengan politik identitas. Sementara sejarah membuktikan bahwa Padang terbangun dengan kolaborasi lintas etnis, agama, dan golongan. Narasi ini yang perlu dinaikkan untuk meng-counter isu politisasi identitas,” ungkap Warik.
Menurut dirinya pribadi, dalam pergaulannya sejauh ini ia sangat jarang menemukan diskriminasi karena perbedaan agama. Namun ia tidak menutup kemungkinan jika ada aspek yang perlu ditingkatkan dalam menjamin inklusivitas sosial. “Ruang inklusif seharusnya dibangun melalui dialog, bukan malah hanya dengan mengutuk kondisi yang ada,” ujar pria yang sudah malang melintang dalam aktivisme tersebut.
Hal senada juga disampaikan oleh caleg Maidestal Hari, “gesekan dan jurang antara lintas golongan semestinya tidak diperbesar. Membicarakan persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan memang perlu berhati-hati.” Ucap Hari.
Sementara itu caleg dari kalangan aktivis hak perempuan, Ka’bati menyampaikan semestinya pemerintah dan masyarakat tidak menutup mata dengan adanya keluhan atas diskriminasi terhadap umat agama minoritas. “Secara personal, hubungan kita lintas agama di Sumbar mungkin baik-baik saja, tapi secara kehidupan berdemokrasi masih perlu ditingkatkan,” lanjutnya.
Sebagai umat Muslim, ia berkaca pada spirit yang dibawa Nabi Muhammad dalam sejarahnya bersama para sahabat hijrah ke Madinah seperti tercatat dalam Sirah Nabawiyah. Ia menilai hijrahnya Nabi ke tempat baru membawa semangat inlusivisme sosial yang menjamin hak semua golongan lintas etnis maupun agama.
Penuturan para Caleg tersebut kemudian mendapat tanggapan dari Ketua Yayasan Cinta Kasih Bersama Sumbar yang juga merupakan pendidik agama Kristen, Desmurniyati. “Secara individual di Kota Padang persoalan keberagaman agama ini memang baik-baik saja. Kalau kita merujuk kepada roh negara Indonesia dan Pancasila, semestinya tidak akan ada gesekan,” ungkapnya.
Dengan demikian ia menyampaikan beberapa masalah yang menyangkut hak lintas Agama di Sumatera Barat harus dicarikan solusinya. Sebagai contoh, terkait siswa non muslim yang terpaksa mengikuti pelajaran agama Islam, sulitnya mendapatkan guru agama minoritas untuk mengajar dan memberi nilai di sekolah, terhalangnya pekerja non muslim di lingkup institusi pemerintah untuk mendapatkan SK PNS, dan masih sulitnya perizinan membangun rumah ibadah.
Sebelumnya, pada hari dan tempat yang sama juga berlangsung diskusi bersama para akademisi dengan topik “bagaimana kondisi kebebasan beragama dan berkepercayaan di Sumatera Barat?”
Wakil Ketua Pelita Padang, Silmi Novita Nurman dalam hal ini bertindak sebagai host. Diskusi itu dipantik oleh dosen Unand Rozditeno Putri, dosen UMSB Hairunnas, serta dosen UIN IB yang juga merupakan salah satu pendiri Pelita Padang Dwi Wahyuni.
Ketua Pelita Padang Angelique Maria Cuaca di penghujung kegiatan menyampaikan terima kasih terhadap para masyarakat sipil yang terlibat dalam Forum Demokrasi, karena menurutnya melalui ruang-ruang dialog seperti inilah perdamaian terus terjaga serta isu diskriminasi semakin terkikis. (TIM)