Padang, http://sudutlimapuluhkota.com – Basirompak adalah sebuah ritual magis yang cukup populer di ranah Minang, terutama sebelum tahun 2000-an. Ritual ini merupakan bentuk pembalasan seorang laki-laki yang merasa terhina karena cintanya ditolak secara tidak baik oleh seorang perempuan. Si laki-laki kemudian melakukan ritual basirompak agar perempuan tersebut tergila-gila padanya. Hal ini tercermin dalam kaba Si Umbuik Mudo karya Illyas Payakumbuh, serta cerita rakyat seperti kisah Sibabau yang dituangkan oleh Khairul Jasmin dan Nita Indrawati.
Ritual basirompak melibatkan mantra-mantra magis serta alat musik khas seperti saluang sirompak dan gasiang tangkurak. Saluang sirompak dibuat dari bambu ringan yang diperoleh secara diam-diam dan diberi lubang nada setelah terjadi kematian tragis. Sementara gasiang tangkurak dibuat dari tengkorak manusia yang semasa hidupnya memiliki kekuatan spiritual.
Dalam perspektif antropologi budaya, sebagaimana pemikiran Bronislaw Malinowski, basirompak dapat dimaknai sebagai mekanisme budaya untuk memenuhi kebutuhan biologis dan sosial, seperti mendapatkan pasangan. Namun, ritual ini hanya dapat dilakukan jika ada pemicu berupa penghinaan dari pihak perempuan, sesuai prinsip basabab kok bakarano.
Basirompak Sebagai Seni Pertunjukan
Transformasi basirompak menjadi seni pertunjukan dimulai oleh Murni Jamal pada 1975. Sejak diperkenalkan ke ASKI Padang Panjang tahun 1977, basirompak mulai dilihat sebagai bentuk hiburan budaya. Keterlibatannya dalam film Himbauan Ranah Minang (1979) semakin mengukuhkan posisi ini.
Pertunjukan basirompak kini tampil dalam berbagai acara masyarakat seperti pernikahan dan pesta adat, dengan alat musik tambahan seperti rabab. Unsur musik sirompak juga diintegrasikan ke dalam teater tradisional Minang, randai, dan berfungsi sebagai hiburan serta penguat relasi sosial dalam masyarakat.
Basirompak Sebagai Karya Sastra
Transformasi lebih lanjut dari basirompak juga terlihat dalam dunia sastra. Berbagai puisi terinspirasi dari ritual ini, seperti “Sirompak Taeh” dalam Dongeng-Dongeng Tua oleh Iyut Fitra, dan “Aku Dengar Sampelong” oleh Esha Tegar Putra dalam Dalam Lipatan Kain. Meski disebut Wisran Hadi pernah menulis naskah drama bertema basirompak, keberadaan naskah lengkapnya tidak diketahui.
Puisi “Aku Dengar Sampelong” menggambarkan suasana magis dan menakutkan dari suara sampelong, serta ekspresi sakit hati akibat cinta yang ditolak. Ini menunjukkan bahwa meskipun tidak lagi populer sebagai praktik mistis, semangat dan nyawa basirompak tetap hidup dalam berbagai bentuk seni.
Sayangnya, hingga kini belum ada novel yang mengeksplorasi potensi akulturatif dari basirompak secara utuh. Padahal, sebagai bagian dari adat Minangkabau, basirompak menyentuh norma kesopanan dan peran perempuan dalam masyarakat. Di tengah transformasi ini, eksistensi basirompak tetap berlanjut dalam bentuk-bentuk baru yang sesuai dengan zaman.
Daftar Pustaka :
Marzan. (2002). Sebuah Transformasi Aktivitas Ritual Magis Menuju Seni Pertunjukan Basirompak. Yogyakarta: KEPEL Press.
Fitra, I. (2009). Dongeng-Dongeng Tua. Yogyakarta: AKAR Indonesia.
Tegar Putra, Esha. (2024). Dalam Lipatan Kain. Yogyakarta: JBS.
Identitas Penulis :

Oleh : M. Iqbal Maulana
Nama saya M. Iqbal Maulana, seorang mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Andalas. Punya keinginan sederhana menjadi sastrawan yang rendah hati. Bisa disapa melalui Instagram @maulana_yamaulana2