Limapuluh Kota, http://sudutlimapuluhkota.com – Raso Jo Pareso merupakan frase atau gabungan dua kata, yaitu rasa dan periksa, rasa disini memiliki arti bukan merasakan pengecap lidah, tetapi lebih kepada perasaan dan memeriksa apakah yang kita sampaikan menyakiti hati dari pihak lain ataupun orang lain, dan frase Raso Jo Pareso masuk ke dalam petatah petitih orang Minang, karena orang Minang itu suka petatah petitih, berikut syairnya:
Raso bao naiak.
Pareso bao turun.
Tarimolah raso dari lua.
Pareso bana raso kadalam.
Antah iyo antah indak.
Syair tersebut mengisyaratkan pesan bahwa orang Minang memiliki petunjuk ketika akan melakukan suatu tindakan, bapikia sabalun batindak dan juga kan dapat diketahui secara bersama orang minang itu egaliter, tidak berkelompok, maka ketika orang minang berbaur dan bersosialisasi, disinilah pentingnya berhati-hati dalam bertindak dan bertutur kata, karena sakit hati lebih parah dan lama membekas dibanding sakit secara fisik.
Contoh Raso Jo Pareso dalam kehidupan sehari hari adalah ketika sedang makan sendiri ditengah keramaian, maka minimal kita menawarkan kepada orang yang berada disekitar kita, jangan kita makan sendiri tapi tidak memperhatikan sekitar dan menanyakannya, bahkan orang Minang jika dirantau, ada sanaknya yang kelaparan, pasti akan diusahakannya untuk membantu.
Raso Jo Pareso mulai pudar seiring dengan indiviualisme yang tinggi, dan juga bagaimana kehidupan yang mulai dibantu oleh Artificial Inteligence membuat interaksi sesame manusia menjadi berkurang, mengakibatkan rasa ketidakpedulian kepada lingkungan sekitar. Bukti nyata Raso Jo Pareso telah hilang adalah murid mencaci maki gurunya, dan menandang pintu, ini merupakan Raso Jo Pareso yang sudah hilang, bagaimana harusnya seorang guru itu dihormati dan dimuliakan, bukan di hardik seperti itu.
Solusi yang bisa ditawarkan atas pudarnya Raso Jo Pareso di Ranah Minang dan Rantau adalah tingkatkan pengetahuan seputar Adat Minangkabau, Pelajaran Budaya Alam Minangkabau (BAM) disekolah tidak dihapuskan, kembalikan lagi Pelajaran Budaya Alam Minangkabau (BAM), kemudian peningkatan efektifitas Surau atau Masjid sebagai tempat Pendidikan terbaik, dan juga perlu tokoh Minang yang menjadi contoh atau tauladan kepada generasi muda, selain itu tahu Kato Nan Ampek.
Kato Nan Ampek atau yang biasa kita kenal ada Kato Mandaki, yaitu menyatakan pikiran kita secara baik kepada orang yang lebih tua dari kita, misalnya berbicara dengan nenek kita, ibu kita, lalu ada Kato Manurun, yaitu dipakai untuk menyatakan pikiran orang yang lebih muda, kemudian ada Kato Mandata, yaitu dipakai untuk orang yang seumuran dengan kita dan terakhir kato malereang, yaitu kata yang diungkapkan kepada orang yang kita segani, misalnya kepada Datuak.
Kemudian Tahu Sumbang 12 atau hal yang tidak boleh dilakukan, singkatnya saja adalah Laki-Laki duduk bersila, Perempuan duduk bersimpuh, kemudian Laki-Laki harus menjaga pandangannya dari yang bukan muhrim. Kemudian ketika makan harus secukupnya tidak boleh berlebihan, kemudian idealnya pekerjaan, jika pekerjaan mudah alangkah baiknya diserahkan kepada Perempuan, dan pekerjaan yang keras diberikan kepada Laki-Laki. (*)
Identitas Penulis :
Nama : Muhammad Rafi
Kegiatan : Pembelajar Adat