Yogyakarta, http://sudutlimapuluhkota.com – Obrolan tentang terancamnya eksistensi bahasa Minang kerap saya temukan dalam forum diskusi seputar kebudayaan/adat Minangkabau. Salah satu permasalahan yang sering disinggung ialah penggunaan bahasa campuran antara bahasa Indonesia dengan bahasa Minang, atau sering disebut dengan istilah bahasa Indomi. Pada satu sisi, ada juga yang mempermasalahkan penggunaan bahasa Minang yang artikulasinya tidak sesuai dengan dialek/logat bahasa Minang semestinya.
Oleh sebagian orang, artikulasi dengan logat yang tidak sesuai ini malah memberikan kesan mengolok-olok bahasa Minang. Hal ini memunculkan respon tersendiri bagi mereka ketika berhadapan dengan orang yang dianggap tidak sempurna dalam berbahasa Minang. Mulai dari pengalihan obrolan, bahkan ada yang sampai terang-terangan memberikan sindiran pedas agar orang tersebut menyudahi praktik berbahasa Minang tersebut.
Dilemanya, praktik berbahasa Minang terbata ini juga terjadi pada Orang Minang yang “Gadang di Rantau”. Mengutip Yulizal Yunus (KABM, pada 9 September 2022), orang Minangkabau adalah mereka yang lahir dari rahim seorang Ibu berdarah Minang kapan pun dan dimana pun dirinya dilahirkan. Konteksnya dalam tulisan ini ialah orang Minang yang lahir dan besar di luar provinsi Sumatera Barat. Perbedaan geografis akan berdampak pada perbedaan situasi sosial yang dialaminya. Seperti halnya dalam praktik kebahasaan sehari-hari mereka yang tidak lagi menggunakan bahasa Minang sebagai bahasa pengantar dalam berkomunikasi. Ini tentunya berdampak pada dialek dan ketidakbiasaan mereka dalam mengartikulasikan kosakata dari bahasa Minang.
Tulisan ini bermaksud memaparkan pandangan lain mengenai penggunaan bahasa Minang yang masih belum sempurna ini dan dilakukan oleh orang Minang yang “Gadang di Rantau”. Argumentasi dasar tulisan ini ingin menyebutkan bahwa tidak semuanya mereka yang berbahasa Minang dengan tidak tepat ini (baik itu berbahasa Indomi atau dialek/logatnya yang tidak pas) bermaksud untuk mengolok-olok bahasa Minang. Setidaknya, ada dua pandangan yang dapat menuturkan maksud dari argumen tersebut.
Pertama, berbahasa Minang sebagai upaya mereka meresapi kebudayaannya sembari menjadi proses belajar. Ketika seorang anak perantau Minang mulai menyadari bahwa dirinya merupakan orang Minang, dan mulai tertarik untuk mengetahui budaya miliknya, tentu akan ada upaya-upaya untuk mengidentifikasi diri. Ia akan mulai mencoba mencermati apa saja unsur-unsur yang merekat pada dirinya sebagai sosok orang Minang. Mulai dari suku, kampung halaman orang tuanya, riwayat sanak famili, konsepsi ideal tentang orang Minangkabau, termasuk dalam upaya mengenal bahasa Minangkabau.
Ketika anak tersebut mencoba untuk mempraktikkan bahasa Minang, baik itu saat berada di komunitas Minangkabau atau sedang berada di ranah minang, berarti Ia sedang dalam proses mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari orang Minang. Pada saat Ia menggerakkan lidah dengan bahasa Minang pun, sebenarnya ada upaya ekstra yang telah dilakukan. Akan ada pertimbangan apakah kata yang dilontarkan ini sudah tepat konteksnya atau pertimbangan dalam aspek lainnya. Pertimbangan ini tentunya tidak akan dirasakan oleh mereka yang dari lahir sudah menjadikan bahasa Minang sebagai bahasa pengantar sehari-hari.
Oleh karenanya, wajar saja jikalau mereka belum dapat mengartikulasikan bahasa Minang dengan tepat -baik dari pilihan kosakata maupun dialek/logat. Pada satu sisi juga perlu disadari, bahwa yang namanya proses belajar itu tidak serta-merta menjadikan orang pandai begitu saja. Belajar itu memerlukan proses yang melintasi ruang dan waktu. Sejatinya, ini hanyalah soal jam terbang saja.
Kedua, tidak ada salahnya memberikan apresisasi terhadap mereka yang mulai mencoba berbahasa Minang. Apresiasi ini tentunya tidak perlu dilakukan dengan cara yang muluk-muluk. Cukup dengan tidak memberikan cemooh atau menanggapinya seperti mengobrol seperti biasa saja. Ketika mereka berbahasa Minang berarti mereka sedang berupaya melestarikannya.
Jikalau terlalu sering dicemooh, tentunya akan ada fase di mana mereka merasa letih atau jenuh. Cemoohan tersebut malah menjadikan mereka tidak lagi percaya diri, sehingga membuat mereka ogah-ogahan mempraktikannya. Jika hal seperti ini terjadi terus-menerus, berarti sama saja kita sedang menghambat upaya pelestarian budaya lisan oleh mereka yang gadang di rantau.
Referensi:
Yunus, Yulizal. 2022. Adaik Dipakai Baru, Kain Dipakai Usang. Kuliah Adat Budaya Minangkabau (KABM), Padang (Via Zoom Meeting): 9 September 2022.
Identitas Penulis :
Nama : Risky Wahyudi
Peneliti : Kajian Budaya dan Media di Pusat Dokumentasi Media Alternatif Prodi Komunikasi UII